Di tengah pesona budaya Bali yang memikat, terdapat tradisi unik bernama Mekotek atau Ngerebek dari Desa Munggu, Kabupaten Badung. Lebih dari sekadar ritual, Mekotek adalah warisan leluhur yang bertujuan memohon keselamatan dan menjadi simbol persatuan masyarakat. Tradisi ini telah bertahan ratusan tahun, menyimpan kisah sejarah, nilai spiritual, dan semangat kebersamaan yang mengakar kuat.
Awalnya, Mekotek merupakan bentuk penyambutan prajurit Kerajaan Mengwi yang pulang dengan kemenangan dari pertempuran melawan Kerajaan Blambangan di Jawa. Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi ritual tolak bala untuk melindungi desa dari marabahaya. Pada masa kolonial Belanda tahun 1915, Mekotek sempat dilarang karena dianggap berpotensi memicu pemberontakan. Namun, larangan ini justru diikuti wabah penyakit yang melanda desa. Masyarakat akhirnya menghidupkan kembali tradisi ini sebagai upaya spiritual menolak malapetaka, dan sejak itu Mekotek terus dilestarikan.
Mekotek digelar setiap 210 hari sekali berdasarkan kalender Hindu, tepatnya pada Sabtu Kliwon Kuningan—hari terakhir perayaan Galungan. Pada 2025, ritual ini akan jatuh pada 3 Mei, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Upacara dimulai di Pura Dalem Munggu, tempat peserta berkumpul dengan mengenakan pakaian adat mayda: kancut (kain tradisional) dan udeng batik. Sebelum prosesi, mereka melakukan persembahyangan sebagai wujud syukur atas hasil bumi dan memohon perlindungan.
Setelah ritual di pura, sekitar 2.000 peserta dari 15 banjar (lingkungan) di Desa Munggu—berusia 12 hingga 60 tahun—berarak menuju sumber air suci di kampung mereka. Tongkat kayu pulet sepanjang 2–3,5 meter yang telah dikupas kulitnya menjadi alat utama dalam prosesi. Peserta dibagi dalam kelompok beranggotakan 50 orang. Dengan penuh semangat, mereka saling mengadu tongkat membentuk piramida atau kerucut. Seorang sukarelawan berani naik ke puncak tumpukan tongkat, memberi komando untuk menyerang formasi kelompok lain. Tabrakan tongkat yang dinamis diiringi alunan gamelan Bali menciptakan atmosfer heroik dan penuh kebanggaan.
Awalnya, Mekotek menggunakan tongkat besi sebagai refleksi semangat perang. Namun, karena risiko cedera, bahan diganti dengan kayu pulet yang lebih aman. Meski demikian, esensinya tetap sama: mengajarkan keberanian, kerja sama, dan ketangguhan. Ritual ini juga menjadi media edukasi bagi generasi muda untuk mengenal akar budaya mereka.
Pada 27 Oktober 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menganugerahi Mekotek sertifikat Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Pengakuan ini semakin memacu Pemerintah Kabupaten Badung untuk melestarikan tradisi. Salah satunya dengan menyajikannya dalam bentuk pertunjukan fragmentari untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, tanpa menghilangkan makna sakralnya.
Bagi yang ingin menyaksikan langsung, Mekotek 2025 akan digelar pada 3 Mei 2025 di dua lokasi:
Desa Munggu terletak di Kecamatan Mengwi, sekitar 20 km dari Bandara Ngurah Rai. Aksesnya mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi atau transportasi online. Bagi wisatawan, disarankan datang lebih awal, menghormati aturan adat, dan mengenakan pakaian sopan.
Mekotek bukan sekadar atraksi, melainkan cerminan kearifan lokal Bali yang memadukan spiritualitas, seni, dan kebersamaan. Tradisi ini membuktikan bahwa warisan budaya bisa tetap relevan di era modern, selama dijaga dengan kesungguhan dan kebanggaan.
Bagi Anda yang berencana menyaksikan Mekotek 2025, pastikan pengalamanmu semakin istimewa dengan mengunjungi Tantra Digital.
Artikel sepenuhnya diambil dan dimodifikasi dari: Dapobas Kemdikbud, Gambar dalam artikel diambil dari Website Desa Munggu.